Twitter Killer Jepang Dieksekusi Mati

dunialain.xyz – Jepang pada hari Jumat (27/6/2026) mengeksekusi seorang pria yang dijuluki Twitter killer (pembunuh Twitter) yang membunuh dan jalankan mutilasi kepada sembilan orang yang ditemuinya secara daring, dalam pemberlakuan hukuman mati pertama di negara itu sejak tahun 2022.
Takahiro Shiraishi, 34 tahun, dieksekusi mati dengan cara digantung karena membunuh korbannya yang mayoritas perempuan setelah menghubungi mereka melalui platform sarana sosial yang kini bernama X.
Ia menargetkan pengguna yang mengunggah berkenaan bunuh diri, berikan tahu mereka bahwa ia sanggup menopang konsep mereka, atau bahkan mati bersama.
Menteri Kehakiman Keisuke Suzuki menyatakan kejahatan Shiraishi, yang dilaksanakan pada tahun 2017, juga “perampokan, pemerkosaan, pembunuhan… penghancuran dan penelantaran jasad”.
“Sembilan korban dipukuli dan dicekik, dibunuh, dirampok, dan lantas dimutilasi dengan bagian-bagian tubuh mereka disembunyikan dalam kotak, dan bagian-bagian lainnya dibuang di tempat pembuangan sampah,” kata Suzuki kepada wartawan di Tokyo seperti dikutip berasal dari AFP, Sabtu (28/6/2025).
Shiraishi melakukan tindakan untuk memuaskan “hasrat seksual dan finansialnya sendiri” dan pembunuhan tersebut “menyebabkan guncangan dan kekhawatiran besar bagi masyarakat”, kata Suzuki.
“Setelah pertimbangkan dengan saksama, aku memerintahkan eksekusi.”
Jepang dan Amerika Serikat adalah dua negara G7 yang tetap pakai hukuman mati, dan ada perlindungan kuat untuk praktek tersebut di antara penduduk Jepang, menurut survei.
Sebelumnya, ada satu eksekusi mati pada tahun 2022, tiga pada tahun 2021, tiga pada tahun 2019, dan 15 pada tahun 2018, kata kementerian kehakiman kepada AFP.
Hukuman Mati Dijatuhkan Sejak 2020
Shiraishi dijatuhi hukuman mati pada tahun 2020 atas pembunuhan sembilan korbannya, yang berusia antara 15 dan 26 tahun.
Setelah memikat mereka ke rumah kecilnya di dekat ibu kota, ia menyembunyikan bagian-bagian tubuh mereka di sekitar apartemen dalam pendingin dan kotak peralatan yang ditaburi kotoran kucing dalam upaya untuk menyembunyikan bukti.
Pengacaranya berpendapat Shiraishi semestinya menerima hukuman penjara daripada dieksekusi karena korbannya udah perlihatkan pikiran untuk bunuh diri dan udah setuju untuk mati.
Namun seorang hakim menolak argumen itu, menyebut kejahatan Shiraishi “licik dan kejam”, kata laporan pada sementara itu.
“Martabat para korban diinjak-injak,” kata hakim itu, seraya beri tambahan bahwa Shiraishi udah memangsa orang-orang yang “rapuh secara mental”.
Pembunuhan mengerikan itu ditemukan pada musim gugur 2017 oleh polisi yang menyelidiki hilangnya seorang wanita berusia 23 tahun yang dilaporkan udah mencuit berkenaan keinginannya untuk bunuh diri.
Kakaknya memperoleh akses ke account Twitter-nya dan pada akhirnya membawa polisi ke kediaman Shiraishi, tempat para penyelidik mendapatkan bagian-bagian tubuh yang terpotong-potong.
Kontroversi Hukuman Mati di Jepang
Eksekusi senantiasa dilaksanakan dengan cara digantung di Jepang, di mana sekitar 100 narapidana hukuman mati tengah menunggu hukuman mereka dilaksanakan.
Hampir setengahnya mencari pengadilan ulang, kata Suzuki pada hari Jumat (27/6).
Hukum Jepang memastikan bahwa eksekusi harus dilaksanakan dalam sementara enam bulan sejak putusan setelah banding selesai.
Namun pada kenyataannya, lebih dari satu besar narapidana dibiarkan dalam suasana gelisah di sel isolasi selama bertahun-tahun, dan kadangkala puluhan tahun.
Ada kritik luas pada sistem dan kurangnya transparansi pemerintah atas praktek tersebut.
Pada tahun 2022, Tomohiro Kato digantung karena serangan yang menewaskan tujuh orang pada tahun 2008, ketika ia menabrakkan truk sewaan seberat dua ton ke kerumunan di Tokyo dan jalankan penusukan bertubi-tubi.
Sebelumnya, eksekusi mati besar-besaran pada guru Shoko Asahara dan 12 mantan anggota sekte kiamat Aum Shinrikyo berjalan pada tahun 2018.
Aum Shinrikyo mengatur serangan gas sarin tahun 1995 di sistem kereta bawah tanah Tokyo, menewaskan 14 orang dan membawa dampak ribuan orang lainnya sakit.